Kuching
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kuching کوچيڠ 古晉 |
|||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Dari kanan atas searah jarum jam: Astana, bangunan legislatif Serawak, Tugu Kucing, Jembatan Pending, Museum Serawak, dan Fort Margherita.
|
|||||||
|
|||||||
|
|||||||
Koordinat: 1°33′36″LU 110°20′42″BT | |||||||
Negara | Malaysia | ||||||
Negara bagian | Serawak | ||||||
Bagian | Bagian Kuching | ||||||
Daerah | Daerah Kuching | ||||||
Didirikan oleh Kesultanan Brunei | 1827 | ||||||
Dihuni oleh James Brooke | 18 Agustus 1842 | ||||||
Munisipaliti | 1 Januari 1953 | ||||||
Didirikan (Menerima status kota) |
1 Agustus 1988 | ||||||
Pemerintahan | |||||||
• Jenis | Kuching Selatan : Pemerintahan wali kota–dewan Kuching Utara : Pemerintah dewan–pengelola |
||||||
• Wali kota (Kuching Selatan) | James Chan Khay Syn | ||||||
• Komisaris (Kuching Utara) | Datuk Abang Wahap Abang Julai | ||||||
Area[2] | |||||||
• Bandar Kuching | 431,02 km2 (136 sq mi) | ||||||
Ketinggian[3] | 27 m (89 ft) | ||||||
Titik tertinggi | 810,2 m (26,581 ft) | ||||||
Populasi (2010) | |||||||
• Bandar Kuching | 325.132 jiwa[1] | ||||||
• Metro | 684.112 jiwa | ||||||
Sumber dari Sensus Penduduk dan Perumahan Malaysia 2010. Wilayah Metropolitan Kuching (Greater Kuching) meliputi populasi 358,980 di Munisipaliti Padawan dan daerah Samarahan. | |||||||
Zona waktu | ZWM (UTC+8) | ||||||
Kode pos | 93xxx | ||||||
Situs web | Kuching Utara: www Kuching Selatan: www |
Kuching adalah ibukota ketiga Serawak pada tahun 1827 pada masa pemerintahan Kekaisaran Brunei. Pada tahun 1841, Kuching menjadi ibukota Serawak setelah Serawak diserahkan ke James Brooke untuk membantu kerajaan Brunei dalam menghancurkan pemberontakan. Kota ini terus mendapat perhatian dan pengembangan selama pemerintahan Charles Brooke seperti pembangunan sistem sanitasi, rumah sakit, penjara, benteng, dan bazar. Pada tahun 1941, pemerintahan Brooke memiliki Perayaan Centenary di Kuching. Selama Perang Dunia II, Kuching diduduki oleh tentara Jepang dari tahun 1942 sampai 1945. Pemerintah Jepang mendirikan kamp Batu Lintang dekat Kuching untuk menahan tawanan perang dan interniran sipil. Setelah perang, kota ini tetap masih bertahan utuh. Namun, Rajah terakhir Serawak, Sir Charles Vyner Brooke memutuskan untuk menyerahkan Serawak sebagai bagian dari Mahkota Inggris pada tahun 1946. Kuching tetap menjadi ibukota selama periode Mahkota Inggris. Setelah pembentukan Malaysia pada tahun 1963, Kuching juga tetap dikekalkan menjadi ibukota dan mendapat status resmi kota pada tahun 1988. Sejak itu, kota Kuching dibagi menjadi dua wilayah administratif yang dikelola oleh dua pemerintah daerah yang terpisah. Pusat administrasi pemerintahan negara Serawak terletak di Wisma Bapa Malaysia, Kuching.
Kuching adalah tujuan pangan utama bagi wisatawan dan merupakan pintu gerbang utama bagi wisatawan mengunjungi Serawak dan Kalimantan.[7] Taman Nasional Lahan Basah Kuching terletak sekitar 30 kilometer (19 mi) dari kota dan terdapat banyak tempat wisata lainnya di dalam dan sekitar Kuching seperti Taman Nasional Bako, Pusat Satwa Liar Semenggoh, Festival Musik Hutan Hujan Dunia (RWMF), bangunan legislatif Serawak, Astana, Fort Margherita, Museum Kucing, dan Museum Serawak. Kota ini telah menjadi salah satu pusat industri dan komersial utama di Malaysia Timur.[8][9]
Sejarah
Serawak adalah bagian dari Kekaisaran Brunei sejak mengekangnya Sultan Brunei pertama, Sultan Muhammad Shah. Kuching adalah ibukota ketiga Serawak, yang didirikan pada tahun 1827 oleh perwakilan dari Sultan Brunei, Pengiran Indera Mahkota.[10] Sebelum berdirinya Kuching, dua ibukota masa lalu Serawak adalah Santubong, didirikan oleh Sultan Pengiran Tengah pada tahun 1599, dan Lidah Tanah, yang didirikan oleh Datu Patinggi Ali awal tahun 1820-an.[10]Pengiran Muda Raja Hashimit kemudian menyerahkan wilayah ini untuk petualang Inggris, James Brooke sebagai hadiah karena membantunya melawan pemberontakan di Serawak pada saat itu.[11] Pemberontakan itu hancur pada bulan November 1840, dan pada tanggal 24 September 1841, Brooke diangkat sebagai Gubernur Serawak dengan gelar "Rajah".[11] Ia tidak diumumkan sampai 18 Agustus 1842 setelah Sultan Omar Ali Saifuddin II meratifikasi gubernur, dan membutuhkan Brooke membayar jumlah tahunan sebesar $2,500 kepada Sultan.[11] Sejak saat itu, Kuching menjadi pusat pemerintahan Brooke.[12]
Pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh keponakannya, Charles Brooke. Sebagai ibukota administratif, ia menjadi pusat perhatian dan pembangunan.[13] Perbaikan termasuk sistem sanitasi.[13] Pada tahun 1874, kota ini telah menyaksikan beberapa perkembangan, termasuk pembangunan rumah sakit, penjara, Fort Margherita, dan banyak bangunan lainnya.[13]
Istri Charles Brooke menulis otobiografinya, (My Life in Sarawak), termasuk deskripsi tentang Kuching:
Astana (Istana), yang sekarang merupakan kediaman resmi Gubernur Serawak, dibangun di samping rumah pertama Brooke. Bangunan ini dibangun pada tahun 1869 sebagai hadiah pernikahan untuk istrinya.[15][16] Kuching terus berkembang di bawah Charles Vyner Brooke, yang menggantikan ayahnya sebagai Rajah Ketiga Serawak.[11] Pada tahun 1941, perayaan Centenary diadakan di Kuching.[17] Beberapa bulan kemudian, pemerintahan Brooke hampir tamat apabila Jepang menduduki Serawak.[11]Kota kecil ini tampak begitu rapi, segar dan makmur di bawah yurisdiksi cermat dari Rajah dan petugas, bahwa hal ini mengingatkan saya pada sebuah kotak mainan yang tetap dijaga teliti dengan bersih oleh seorang anak. Bazar berada pada jarak tertentu di sepanjang tepi sungai, dan hampir semuanya dihuni oleh pedagang Cina, dengan pengecualian satu atau dua toko India .... Pelbagai barang eksotis yang diletakkan di meja dekat trotoar, di mana pembeli dapat membuat pilihan mereka. Di toko-toko India anda dapat membeli sutra dari India, sarung dari Jawa, teh dari Tiongkok, ubin dan porselen dari seluruh belahan dunia, tercantum dalam kebingungan yang indah, dan meluap ke jalan.[13][14]—Margaret Brooke, istri Charles Brooke.
Selama Perang Dunia II, enam peleton infanteri dari 2/15 Resimen Punjab ditempatkan di Kuching pada April 1941.[18] Resimen ini mempertahan Kuching dan lapangan terbang Bukit Stabar dari dihancurkan oleh Jepang. Pertahanan utama terkonsentrasi di Kuching dan Miri.[18] Namun pada tanggal 24 Desember 1941, Kuching ditakluk oleh tentara Jepang. Serawak diperintah sebagai bagian dari Kekaisaran Jepang selama tiga tahun dan delapan bulan, sampai Jepang menyerah resmi pada tanggal 11 September 1945. Penyerahan resmi ditandatangani pada HMAS Kapunda di Kuching.[19][20][21] Dari Maret 1942, Jepang mengoperasikan kamp Batu Lintang, untuk tawanan perang dan interniran sipil, tiga mil (5 km) di luar Kuching.[22]
Setelah akhir Perang Dunia II, kota ini selamat dan tidak sepenuhnya rusak.[23] Rajah Serawak yang ketiga dan terakhir, Sir Charles Vyner Brooke kemudian menyerahkan Serawak ke Mahkota Inggris pada 1 Juli 1946.[24][25] Selama periode Mahkota Inggris, pemerintah Inggris giat berusaha untuk mengembangkan dan meningkatkan infrastruktur di Serawak.[20] Kuching direvitalisasi sebagai ibukota Serawak di bawah pemerintahan Mahkota Inggris.[26] Ketika Serawak, bersama-sama dengan Borneo Utara, Singapura dan Federasi Malaya, membentuk Federasi Malaysia pada tahun 1963,[27] Kuching terus dikekalkan statusnya sebagai ibukota dan diberikan status resmi kota pada 1 Agustus 1988.[28][29]
Etimologi
Nama "Kuching" sudah digunakan untuk kota ini pada saat Brooke tiba pada tahun 1839.[6][13] Ada banyak teori mengenai derivasi dari kata "Kuching". Itu mungkin berasal dari kata Melayu untuk kucing, atau dari Cochin, sebuah pelabuhan perdagangan India di Pantai Malabar dan istilah generik di Cina dan India Britania untuk perdagangan pelabuhan.[6] Beberapa artefak Hindu dapat dilihat hari ini di Museum Serawak.[30] Namun, sumber lainnya melaporkan bahwa kota Kuching sebelumnya dikenal sebagai "Serawak" sebelum Brooke tiba. Pemukiman ini berganti nama menjadi "bagian Serawak" selama ekspansi kerajaan. Barulah pada tahun 1872 bahwa pemukiman ini berganti nama menjadi "Kuching" semasa administrasi Charles Brooke.[30][31]Ada satu teori tidak didasarkan pada kisah miskomunikasi. Menurut suatu cerita, James Brooke tiba di Kuching pada kapal pesiar nya "royalis". Dia kemudian bertanyakan pemandu lokal yang membawanya mengenai nama kota tersebut. Pemandu lokal itu berpikir bahwa James Brooke sedang menunjuk ke arah seekor kucing, lantas ia mengatakan ia adalah "Kuching". Namun, etnis Melayu di Serawak biasanya merujuk nama kucing sebagai "pusak" bukannya kata Melayu "kucing".[30]
Beberapa sumber juga menyatakan bahwa ia berasal dari buah yang disebut "mata kucing" (Euphoria malaiense),[catatan 1][catatan 2] buah yang tumbuh secara luas di Malaysia dan Indonesia.[32] Ada juga sebuah bukit di kota itu yang dinamai selepas buah mata kucing, yang disebut "Bukit Mata Kuching". Sementara seperti yang telah ditulis oleh seorang wanita Inggris untuk anaknya pada abad ke-19, dinyatakan bahwa nama itu berasal dari aliran sungai, yang disebut sebagai "Sungai Kuching" atau "Cat River" dalam bahasa Inggris.[6][33]
Sungai ini terletak di kaki Bukit Mata Kuching dan di depan Klenteng Tua Pek Kong. Pada tahun 1950, sungai ini menjadi sangat dangkal karena endapan lumpur di sungai. Sungai itu kemudian diisi untuk membuat jalan.[30]
Ada lagi teori yang lebih kredibel bahwa Kuching sebenarnya berarti "Ku" (古) - Lama dan "Ching" (井) - "Sumur" atau "sebuah sumur tua" (古井) dalam bahasa Cina selama pemerintahan Brooke. Karena tidak ada pasokan air di kota itu, penyakit air pada saat itu menjadi hal yang biasa. Pada tahun 1888, sebuah epidemi melanda kota itu yang kemudiannya dikenal sebagai "Epidemi Wabah Kolera". Sebuah sumur yang terletak di atas Jalan Cina pada hari ini di Bazaar Utama membantu memerangi wabah itu dengan menyediakan pasokan air bersih, karena peningkatan permintaan untuk pasokan air, peran sumur tersebut kemudian digantikan oleh instalasi pengolahan air di Jalan Bau.[30][34]
Ibu kota
Sebagai ibukota Serawak, Kuching memainkan peran penting dalam kesejahteraan politik dan ekonomi bagi penduduk negara bagian ini karena menjadi pusat pemerintahan di mana hampir semua kantor pusat pemerintahan dan kementerian berada di sini. Bangunan legislatif Serawak terletak di pinggiran kota Kuching di Petra Jaya. Ada tiga anggota Parlemen (MP) mewakili tiga daerah pemilihan parlemen seperti: Petra Jaya (P.194), Kota Kuching (P.195) dan Stampin (P.196). Kota ini juga memilih 8 wakil untuk badan legislatif dari daerah majlis legislatif seperti Tupong, Samariang, Satok, Padungan, Pending, Batu Lintang, Kota Sentosa, dan Batu Kawah.[35]Otoritas lokal dan definisi kota
Kuching merupakan satu-satunya kota di Malaysia yang dikelola oleh dua walikota,[10] kota ini terbagi kepada Kuching Utara dan Kuching Selatan.[36] Masing-masing dikelola oleh seorang walikota Kuching Selatan dan komisaris Kuching Utara.[9] Komisaris Kuching Utara saat ini adalah Datuk Abang Wahap Abang Julai, yang mengambil alih dari Abang Atei Abang Medaan pada 1 Agustus 2011 sementara James Chan Khay Syn menjadi walikota baru untuk Kuching Selatan pada 2008 setelah kematian mendadak Chong Ted Tsiung.[37][38] Kota ini memperoleh status kota pada tanggal 1 Agustus 1988,[28] dan sejak itu ia diperintah oleh Majilis Bandaraya Kuching Utara (DBKU) dan Majilis Bandaraya Kuching Selatan (MBKS).Kota ini didefinisikan dengan perbatasan daerah, sebelumnya munisipaliti Kuching. Dengan luas 1,868.83 kilometer persegi, ia adalah daerah paling padat penduduknya di Serawak.[39] Daerah ini kemudiannya dibagi menjadi tiga sub-daerah, yaitu bagian Kuching, Padawan dan Siburan. Bagian Kuching termasuk kawasan kota dan munisipaliti Padawan,[catatan 3] sementara Siburan dan Padawan adalah sub-daerah. Gabungan dari Majilis Bandaraya Kuching Utara, Majilis Bandaraya Kuching Selatan, Majilis Bandaraya Padawan dan Majilis Daerah Samarahan dikenal sebagai Greater Kuching.[2][40]